ALASKA Menduga Ada Settingan KPK, Ringankan Korupsi Mensos Juliari Batubara



Ilustrasi Gedung KPK di Jakarta  - Istimewa 



Algivon – Pada akhir tahun 2020 ini menjadi momen yang tragis bagi bangsa Indonesia, faktanya sepanjang tahun 2020 Indonesia mengalami fase terberat dalam menghadapi pandemi Covid-19, karena banyak terjadi PHK, ekonomi melemah, fakta terberat lainnya krisis resesi ekonomi. Ironi, fakta tersebut tidak menghentikan kelakuan bejad koruptor, serangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK di penghujung tahun 2020, bahkan bansos pandemic Covid-19 pun dikorupsi. Demikian, secuplik paparan yang diterima redaksi pada Senin, 7 Desember 2020 dari Adri Zulpianto, Koordinator ALASKA (Aliansi Lembaga Analisis dan Kebijakan Anggaran – yang terdiri dari CBA, dan Lembaga Kaki Publik).

 

Paparan  Koordinator Alaska sekedar mengingatkan kita, saat awal fase pandemi ditetapkan, bahkan jejak digital pun dengan mudah bisa kita temukan - pemerintah dan KPK dengan keras menyatakan dan mengingatkan bahwa Korupsi di masa pandemii, dan mengkorupsi bansos pandemi akan mendapatkan hukuman paling berat, hukuman mati! Hal inilah yang kemudian membuat suara netizen menggema untuk menetapkan dan menerapkan ancaman pasal hukuman mati yang termaktub dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor di kasus korupsi bansos, yang dilakukan para tersangka di Kemensos, satu di antaranya Menteri Sosial itu sendiri - Juliari Batubara, yang sekaligus politisi dari partai PDIP.

 

Settingan KPK?

 

ALASKA mencatat,”Ada kejanggalan dalam OTT kasus Bansos Kemensos, yang diduga menjadi upaya KPK untuk meringankan para tersangka kasus Bansos ini agar tidak ditetapkan sanksi hukuman mati,” ujar Adri Zulpianto.

 

Kejanggalan pertama, tatkala dua orang pejabat di Kementerian Sosial kena OTT oleh KPK di tempat yang terpisah pada hari sabtu dini hari (6/12/20200, ditambah dengan dua orang yang menyuap dari pihak swasta sejumlah Rp14,5 Miliar. Namun, kenapa dalam OTT tersebut KPK tidak juga, menangkap Menteri Sosial. Padahal menurut Firli pada keterangan Persnya mengungkap bahwa informasi awal sebelum OTT dijalankan, Mensos Juliari Batubara sudah terlibat, akan tetapi KPK memilih untuk mengintruksikan kepada Juliari Batubara Menyerahkan diri. “Dalam waktu singkat yang kurang dari dua jam, Juliari Batubara pun mendatangi KPK untuk menyerahkan diri, kata Adri Zulpianto.  

 

Kejanggalan kedua, terkait himbauan KPK kepada Juliari batubara untuk menyerahkan diri, padahal posisinya Juliari Batubara sedang tidak dalam perjalanan tugas keluar kota, keluar negeri, dan bahkan Mensos pun sudah sempat merespon media yang mengkonfirmasi terkait adanya OTT di Kemensos. “Artinya, Mensos Juliari Batubara sedang tidak dalam pelarian. Sehingga, kami menduga himbauan KPK kepada Mensos Juliari Batubara untuk menyerahkan diri hanya sebatas settingan KPK agar hukuman mati tidak terlaksana, terang Adri Zulpianto.

 

Berdasarkan dari kejanggalan tersebut, muncul pertanyaan, apakah KPK mau menarik kasus ini dalam kasus justice collaborator? Tindakan para tersangka yang kooperatif? Sehingga para tersangka kasus korupsi bansos ini secara konsekuensi hukum sanksi nya akan mendapat keringanan, lagi papar Koordinator ALASKA ini.

 

Masih ujar Adri Zulpianto, “dugaan settingan yang dilakukan oleh KPK tersebut sangat jelas. Dengan tidak melakukan OTT secara menyeluruh dalam satu waktu, merupakan salah satu cara KPK menghindari penerapan hukuman mati bagi para tersangka korupsi Bansos di masa pandemi.”

 

OTT yang terpisah hingga pada penyerahan diri Mensos ini tergambar seakan empat orang pertama yang ditangkap, secara kooperatif memberikan keterangannya terkait siapa-siapa saja yang terlibat dalam korupsi bansos pandemi, sehingga ada potensi Jaksa Penuntut akan menerapkan system justice collaborator dan menetapkan empat orang pertama yang di OTT sebagai Saksi Pelaku sesuai dengan yang diterapkan dalam UU No.31/2014 tentang Perlindungan saksi dan Korban. Dugaan lain kata Koordinator ALASKA, “Mensos Juliari Batubara pun akan di ringankan sanksi nya karena telah bersikap kooperatif dengan menyerahkan diri.”

 

Justice Collaborator vs Hukuman Mati

 

Lanjutnya kata Koordinator ALASKA, jika KPK ingin menjadikan para tersangka masuk dalam penerapan Justice collaborator, maka settingan tersebut tidak dapat terpenuhi, karena para tersangka telah bersama-sama merencanakan perbuatan pidana, dan para tersangka juga memiliki bobot kasus pidana yang berat, yang dilakukan pada situasi darurat pandemi Covid-19. “Sejatinya, KPK harus memperhatikan syarat-syarat menjadikan para tersangka sebagai justice collaborator yang termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no.4/2011,” papar Adri Zulpianto.



Ilustrasi - istimewa 

 

Perlu dicamkan, tindak pidana korupsi yang terorganisir telah menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat di tengah pandemi, karena telah menambah kekacauan stabilitas negara di tengah menurunnya ekonomi nasional, sehingga meruntuhkan nilai-nilai etika sehingga membahayakan pembangunan nasional dan supremasi hukum. “Makanya, KPK dan pengadilan harus memperhatikan sisi keadilan hukum, dalam penegakkan hukum, dan dalam menetapkan status para tersangka korupsi bansos di tengah pandemic,” jelas Adri Zulpianto.

 

Selain itu, meringankan hukuman dalam kasus korupsi Bansos Pandemic adalah keputusan yang menjauhi keadilan dari penerapan hukum, dan sekaligus membenarkan etika bejad korupsi bantuan untuk masyarakat di tengah situasi yang tidak stabil, seperti pada saat pandemic saat ini. Sebaiknya, penerapan hukuman mati merupakan efek jera yang paling efektif, dan adil dalam korupsi bansos ditengah pandemi seperti sekarang ini. Tidak ada yang lain,” tutup Adri Zulpianto. (Rls/Harri Safiari)

 

 


ALASKA Menduga Ada Settingan KPK, Ringankan Korupsi Mensos Juliari Batubara ALASKA  Menduga Ada Settingan KPK, Ringankan Korupsi Mensos Juliari Batubara Reviewed by Harri Safiari on 16.00 Rating: 5

Tidak ada komentar