Dari Webinar FPIK Unpad ‘Masa Depan Lobster’, Budidaya Sejak 1999, Koq Keok?





Tangkapan layar webinar FPIK Unpad 'Masa Depan Lobster Indonesia' (31/3/2021) - Menyadarkan kita, betapa besar dan berpengaruh potensi lonster maritim Indonesia di dunia ...

 


Algivon – Kembali Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad (31/3/2021) melalui webinar membahas persoalan lobster sebagai  salah satu komoditas unggulan, sumber devisa  Indonesia. Tajuknya, Masa Depan Lobster Indonesia. Salah satu fakta tentang lobster, selain rasanya yang lezat, ia mengandung berbagai nutrisi seperti protein, lipid, karbohidrat, vitamin, dan ragam mineral yang bermanfaat untuk kesehatan.


Lobster dengan segudang manfaat, berpotensi kuat  dibudidayakan dinegeri kita. Saat ini, Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) berharap Indonesia  menjadi produsen lobster di dunia. Ironinya, memang baru berharap? Ini terungkap dari beberapa peserta webinar secara terpisah yang terpantau redaksi.  


Dalam webinar ini hadir,  Ir. Arik Hari Wibowo, M.Si, Direktur Produksi dan Usaha Budidaya Ditjen Perikanan Budidaya KKP RI. Ia bertindak  sebagai keynote speaker, di antara lima pembicara lainnya.

 

Arik Hari Wibowo menyampaikan arahan dari Mentri KKP, Ir. Sakti Wahyu Trenggono, M.M. Saat ini, lobster menjadi komoditas yang menarik untuk didiskusikan baik terkait dengan aktivitas penangkapan benih lobster maupun budidayanya. Sejak 1999, Indonesia telah melakukan budidaya lobster dengan mengandalkan benih-benih lobster dari hasil tangkapan di laut dengan skala tradisional, untuk selanjutnya dibudidayakan sampai ukuran 150-200 gr/ekor dan dijual dalam keadaan hidup.

 

Produksi lobster hasil budidaya pada tahun 2013 mencapai 54,3% dari produksi dunia dari hasil budidaya. Sayangnya, kondisi ini mulai menurun seiring terbukanya ekspor benih-benih lobster. Di pasar global, nilai ekspor benih lobster pada tahun 2020 mencapai 2.022 ton dengan nilai 75,25 juta US dollar. Indonesia dikenal sebagai produsen lobster terbesar kedua setelah Vietnam. Indonesia sebagai negara maritim dengan sumber daya ikan yang sangat besar, namun jika dieksploitasi secara teru-menerus tanpa mempertimbangan keberlanjutan, maka untuk mengembalikan dibutuhkan usaha yang tidak kecil, dan waktu yang tidak sebentar. Untuk itu akuakultur hadir sebagai jawaban dalam pengembangan produksi lobster secara nasional.

 

Menurut Arik Hari Wibowo, setidaknya ada 4 aspek dalam pembangunan akuakultur. Pertama, aspek teknologi perlu diterapkan untuk meningkatkan nilai tambah produk akuakultur. Kedua, aspek lingkungan dimana akuakultur perlu dilakukan dengan menerapkan unsur-unsur keberlanjutan. Ketiga,  aspek ekonomi, dimana keterlibatan stakeholder akan berperan penting sehingga kesejahteraan pelaku budidaya menjadi tujuan utamanya. Terakhir, aspek pasar yang menjadi pertimbangan usaha budidaya sesuai permintaan pasar.

 

Masih kata Arik Hari Wibowo:”Indonesia harus mampu menghasilkan benih lobster dari hasil pemijahan sendiri. Atau, dari pemijahan buatan sehingga tidak lagi tergantung pada hasil tangkapan. Kita pun harus mamu mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan, serta pakan lobster sehingga tidak bergantung pada ikan runcah,” ujarnya dengan menambahkan – “Demi mendukung hal ini, KKP akan mengembangkan kampung-kampung lobster.



Tangkapan layar webinar FPIK Unpad 'Masa Depan Lobster Indonesia' (31/3/2021) - Sejak 1999 budidaya lobster di Indonesia digarap, mengapa kita tidak leading dalam dunia lobster, inilah pertanyaan untuk semua....



 Tata Kelola & Optimalisasi

 

Lainnya, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Dr. Sc. Agr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si, dalam webinar ini menyampaikan materi terkait yakni - Roadmap pengelolaan lobster. Menurutnya, lobster dapat menjadi kekuatan ekonomi di masa mendatang, namun perlu perbaikan pada berbagai isu dan masalah dalam budidaya yaitu isu tata kelola, tata niaga, lingkungan, kebijakan, dan sosial-budidaya.

 

Rekomendasi Yudi Nurul Ihsan, di antaranya negara harus mampu hal  pengentasan kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi ekonomi yang masih berpusat di Indonesia Barat. Niscaya, melalui kehadiran sektor perikanan yang dikelola dengan baik, dan juga budidaya lobster, diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

 

Masih kata Yudi Nurul Ihsan  dalam webinar ini, sedikitnya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan demi perumusan kebijakan dan program terkait yaitu kontribusi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi secara cepat dan berkelanjutan, distribusi kesejahteraan secara adil, serta kelestarian ekosistem dan sumber daya kelautan dan perikanan.”Di kita ada 4  jenis lobster yaitu lobster pasir, lobster mutiara, lobster batik, dan lobster bambu. Demi keberlanjutannya, kita memerlukan satu manajemen lobster yang baik.”

 

Lebih lanjut uraian Yudi Nurul Ihsan, menyasar perihal  peluang riset, manajemen budidaya, konservasi, dan manajemen demi mengatasi berbagai tantangan. “Ada ancaman terbesar, yakni kerusakan habitat dan predator. Lobster dalam fase larva dan juvenile (BBL), mengalami kematian masal akibat kerusakan habitat dan predator.” Lanjutnya, untuk budidaya hematnya harus dimulai dengan membudidayakan dari benur lobster (BBL).

 

Lebih jauh Yudi Nurul Ihsan,  mengajak yang selama ini terlibat, untuk membangun roadmap pengelolaan lobster,” tujuannya agar tercipta industri lobster yang hebat dengan kemampuan membudidayakan lobster. Nelayan pun  perlu didorong agar tidak sebatas menjadi nelayan atau pembudidaya, tetapi menjadi scientist di bidang lobster.”



Lobster 'dalam genggaman' ... (Foto CNN)



Tak sampai di sini, Yudi Nurul Ihsan menyinggung secara manajerial perlu diterapkan aneka pendekatan dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. ”Terkait penangkapan, perlu dilakukan pendataan stock BBL, lobster muda, dan lobster dewasa berdasarkan WPP. Penangkapan benur atau BBL diharapkan sebagai upaya memanfaatkan SDA, untuk sebesar besar kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan sesuai amanat undang-undang serta menjadi bagian dari upaya membangun industri lobster yang hebat berbasis budidaya (Mariculture).”

 

Tak hanya itu, Yudi Nurul Ihsan berharap, masyarakat  diarahkan untuk tidak menangkap lobster muda yang berukuran 40-100 g, “begitu juga aturan pembatasan penangkapan lobster dewasa berdasarkan WPP untuk menjaga keberlanjutan lobster di alam,” jelasnya.

 

Diujung paparannya, Yudi Nurul Ihsan, menyatakan perlu  kolaborasi pentahelic antara perguruan tinggi, pemerintah, industri, masyarakat, serta dukungan media untuk membangun budidaya lobster sebagai kebanggaan Indonesia, terutama melakukan riset bersama terkait pendataan stock BBL, lobster muda, lobster dewasa berdasarkan WPP, dampak ekologi, ekonomi, dan sosial dari pengelolaan lobster, termasuk “Pengelolaan kawasan konservasi lobster disamping penguatan teknologi budidaya lobster yang meliputi pakan, penyakit, parasite, serta teknik budidaya yang tepa,.” ujarnya.

 

Nara sumber berikutnya Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc. Ph.D, ia adalah Dekan Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, melalui paparannya  yang berjudul “Pengembangan Lobster Indonesia?” Tujuan pengelolaan lobster ini harus berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.


Menurutnya, Indonesia adalah pusat keanekaragaman hayati, maka potensi Indonesia harus menjadi jaya termasuk lobster. Kondisi saat ini, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia tidak hanya bisa mengandalkan dari perikanan tangkap, tetapi sektor budidaya. Salah satu komoditas yang sangat berpotensi dibudidayakan adalah lobster. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah mekanisme untuk mengatur penangkapan benih-benih lobster agar tetap tersedia untuk kesejahteraan.

Masih kata Dekan Universitas Hasanudin ini, jumlah lobster di Indonesia sangat banyak. Namun, jika benih-benih lobster di Indonesia ini belum dioptimalkan dengan baik, perlua ada mekanisme dan kebijakan khusus, demi pemanfaatnnya secara optimal. “Bila benih-benih lobster tersebut jika tidak dimanfaatkan dapat masuk ke dalam siklus kematian alami,” ujarnya.

 

Tak ketinggalan Jamaluddin Jompa,  menyampaikan 7 Quo vadis: Pengembangan Lobster Indonesia, yaitu: 1) Pemerintah harus mendasari kebijakan pada sains, teknologi, dan data yang akurat 2) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. 3)Teknologi budidaya lobster harus dikembangkan agar lebih efektif, efisien, dan berdaya saing. 4) Kajian dan pemanfaatan sumberdaya benih lobster yang melimpah perlu dipacu untuk pengembangan budidaya. 5) Kelebihan benih lobster perlu dimanfaatkan secara ketat, berkeadilan, dan berkelanjutan. 6) Teknologi pembenihan lobster di Indonesia agar segera diperkuat melalu konsorsium nasional. 7) Penguatan SDM yang handal menguasai Iptek lobster.

 

Pemateri ketiga yakni Dr. Kodrat Wibowo, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam kesempatan ini, beliau menyampaikan materi “Konsep Maximum Sustainability Yield as A Basic Concept. Menurut beliau, kita perlu mengetahui jumlah perkiraan Maximum Sustainability Yield Untuk produk akuakultur.

Selain itu, Kodrat Wibowo menyampaikan beberapa saran terkait perbaikan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah tetap memberlakukan Permen KP No. 12/2020, maka KPPU mendorong agar:

 

1) Tidak ada pembatasan jumlah terhadap penyedia jasa kargo ekspor BBL. Eksportir dapat memilih penyedia jasa kargo yang paling efisien sesuai titik lokasi ekspor terdekat. 2) Memperhatikan pilihan Bandara yang diizinkan menjadi sarana logistic berjumlah terbatas, dan kondisi ekonomi yang sulit saat ini, maka sebaiknya sekalipun seluruh bandara dibuka, namun dilakukan dengan pengawasan ketat terhadap proses pengiriman BBL. 3) Menghilangkan eksklusifitas/monopoli pelaku usaha dalam pengelolaan kargo. 4) Harga BBL di tingkat pasar harus diatur agar tidak merugikan para nelayan yang menjual BBL dengan harga yang sangat murah, akibat lemahnya posisi tawar mereka. Namun apabila pemerintah melarang ekspor untuk membiarkan BBL tumbuh dewasa, selama berlaku bagi seluruh pelaku usaha, maka hal tersebut merupakan  kewenangan pemerintah.

 

 Sumber Daya Berbasis WWP.

 

Dalam webinar ini yang semakin memuncak, hadir Prof. Dr. Indra Jaya, M.Sc sebagai Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Ia memaparkan materi bertajuk, “Preskripsi untuk Keberlanjutan”. Tiga hal pokok yang disampaikan olehnya, menyangkut jaminan keberlanjutan, situasi saat ini, dan hal yang perlu dilakukan untuk keberlanjutan budidaya lobster.

 

Dalam tilikannya, penangkapan sumber daya alam seperti lobster, “Jika penangkapan sumber daya tersebut melewati batas tertentu maka akan

terjadi overfishing dan menimbulkan masalah karena sumber daya tersebut limited. Namun, jika tingkat penangkapannya tidak melebihi batas, maka perlu regulasi untuk menetapkan batasan jumlah yang diperbolehkan.

 

Salah satu tujuan mengkomunikasikan hal ini, papar Indra Jaya: “Semata untuk mempertahankan tujuan pengelolaan, agar dapat mengakomodasi dan menyeimbangkan bidang konservasi, untuk mempertahankan kelangsungan sumber daya, pun bidang eksploitasi guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya.”

Oleh karena itu, menurut Indra Jaya demi menentukan kondisi sumber daya perlu memperhatikan tingkat dan laju pemanfaatan, habitat, serta tingkat pengelolaan. Rekomendasinya dalam webinar ini, perlu dilakukan demi upaya keberlanjutan budidaya lobster yaitu pengelolaan sumber daya berbasis WWP.


Hal yang perlu dilakukan versi Indra Jaya: 1) pendataan jumlah tangkapan, dan besar upaya penangkapan lobster (dewasa) maupun BBL di setiap WWP setiap tahun, serta 2) Riset di biologi untuk mendapatkan parameter seberan frekuensi panjang, sebaran panjang bobot, rerata rasio jantan/betina, fekunditas, SPR, SR, dll.

 

Pemapar terakhir yakni Bayu Priyambodo, Ph.D, dikena sebagai penulis buku lobster. Bayu Priyambodo  menyampaikan bahwa potensi lobster di Indonesia perlu diubah:”Menjadi aset serta menjadi branding negara Indonesia.”

 

Dalam kesempaatan ini, Bayu Priyambodo  menyampaikan evolusi teknik budidaya lobster di Vietnam. Termasuk di antaranya beberapa evolusi yang dilakukan terkait penggunaan keramba dan pakan, yang menjadikan negara yang relatif kecil dibandingkan Indonesia, namun menjadi bulan-bulanan ahli perikanan dalam hal keunggulan budidaya lobster.



Salah satu jenis lobster di maritim kita (sumber psdku.ac.id)

 

Intinya, menurut beberapa peserta, penyelenggaraan webinar yang diikuti berbagai kalangan dari berbagai pelosok Nusantara, kembai memberikan pencerahan baru. “Pemaparannya, ada yang menggigit dan menukik tentang bagaimana budidaya lobster di negeri ini. Ini penting, karena bisa langsung dipraktikkan dil apangan. Sayang, katanya budidaya lobster sejak 1999, tapi koq keok melulu dari Vietnam ahir-ahir ini?” papar salah satu peserta webinar dari Indonesia Timur. 


Kepada redaksi salah satu personil panitia webinar ini dari pihak FPIK Unpad, Rita Rostika, mengucapkan rasa syukur atas terselenggaranya kegiatan ini. "Terpenting para pihak yang terlibat serta para nelayan dan penggiat budidaya lobster di Indonesia, banyak yang merespon positif webinar ini."  Harri Safiari/summarize)     

 



Dari Webinar FPIK Unpad ‘Masa Depan Lobster’, Budidaya Sejak 1999, Koq Keok? Dari Webinar FPIK Unpad ‘Masa Depan Lobster’, Budidaya Sejak 1999, Koq Keok? Reviewed by Harri Safiari on 19.50 Rating: 5

Tidak ada komentar